SEJARAH PULAU WEH DAN TOKOH PAHLAWAN ACEH

https://www.premierholiday.co.id/asal-mula-sabang-dan-pulau-weh/

SEJARAH PULAU WEH SABANG

Dari banyak sumber informasi yang diperoleh untuk menjelaskan asal-usul Kota Sabang, diantaranya:
  1. pada awal abad ke-15. Penjelajah asal China, Cheng Ho, pernah singgah di sana tahun 1413-1415. Catatan Ma Huan, salah satu penerjemah Cheng Ho, menjelaskan bahwa di sebelah barat laut dari Aceh terdapat daratan dengan gunung menjulang, yang dia beri nama Gunung Mao. Di sana terdapat sekitar 30 keluarga. Banyak para ahli sejarah menegaskan bahwa yang dimaksud Gunung Mao itu adalah Pulau Weh.
  2. Dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan yang kemudian diterjemahkan menjadi The Overall Survey of The Ocean’s Shores, Ma Huan menceritakan bahwa daratan itu menjadi salah satu tempat persinggahan para saudagar dari berbagai negara.
  3. Gunung Mao yang tampak mencolok dari lautan itu menjadi suar atau petanda bagi para saudagar. Sabang sendiri merupakan penghasil kayu laka terbaik serta penghasil bunga teratai.
  4. Erond juga menduga bahwa Sabang saat itu menjadi salah satu bagian dari jaringan perdagangan maritim yang membentang dari Teluk Persia sampai China Selatan pada abad ke-12 sampai ke-15. Thailand, Sri Lanka, dan India termasuk di dalamnya.
  5. Sekitar tahun 301 sebelum Masehi, seorang Ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, pulah Weh! Kemudian dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau Emas di peta para pelaut.
  6. Pada abad ke 12, Sinbad mengadakan pelayaran dari Sohar, Oman, jauh mengarungi samudera melalui rute Maldives, Pulau Kalkit (India), Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton (China). Sinbad berlabuh di sebuah pulau dan juga menamainya Pulau Emas, pulau itu yang dikenal orang sekarang dengan nama Pulau Weh.

Dari Banyaknya Literatur yang di peroleh serta menurut Legenda yang beredar di masyarakat Sabang, yang terletak di Pulau Weh, pulau itu dulunya bersatu dengan daratan Sumatera. Namun, akibat gempa bumi, ribuan bahkan belasan ribu tahun lampau, pulau ini terpisah dengan daratan. Begitu juga dengan pulau-pulau di sekitarnya, Seperti Pulau Rondo, Pulau Rubiah, Pulau Seulako dan Pulau Klah.

ASAL MULA NAMA SABANG DAN PULAU WEH


Nama Sabang sendiri, berasal dari bahasa Aceh ”Saban”, yang berarti sama rata atau tanpa diskriminasi. Kata itu berangkat dari karakter orang Sabang yang cenderung mudah menerima pendatang atau pengunjung. Karakter ini agak berbeda dengan karakter orang Aceh umumnya yang cenderung tertutup terhadap orang yang baru mereka kenal.

Versi lain menyebutkan bahwa nama Sabang berasal dari bahasa arab, yaitu "Shabag" yang artinya gunung meletus. Dahulu kala masih banyak gunung berapi yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.

Sedangkan Pulau Weh berasal dari kata dalam bahasa aceh, ”weh” yang artinya pindah, menurut sejarah yang beredar Pulau Weh pada mulanya merupakan satu kesatuan dengan Pulau Sumatra, yakni penyatuan daratan sabang dengan daratan Ulee Lheue. Ulee Lheue di Banda Aceh berasal dari kata Ulee Lheueh ("Lheueh" ; yang terlepas). Syahdan, bahwa Gunung berapi-lah (yang teresbut diatas) meletus dan menyebabkan kawasan ini terpisah. Seperti halnya Pulau Jawa dan Sumatera dulu, yang terpisah akibat Krakatau meletus.

Pulau "W" / Weh / Sabang Dalam Versi lain, Pulau Weh juga terkenal dengan pulau "We" tanpa h. ada yang berasumsi jika pulau weh diberi nama pulau we karena bentuknya seperti huruf "W".

Menurut sebuah legenda menceritakan putri cantik jelita yang mendiami pulau ini meminta kepada Sang Pencipta agar tanah di pulau-pulau ini bisa ditanami. Untuk itu, dia membuang seluruh perhiasan miliknya sebagai bukti keseriusannya. Sebagai balasannya, Sang Pencipta kemudian menurunkan hujan dan gempa bumi di kawasan tersebut.

Kemudian terbentuklah danau yang lalu diberi nama Aneuk Laot. Danau seluas lebih kurang 30 hektar itu hingga saat ini menjadi sumber air bagi masyarakat Sabang meski ketinggian airnya terus menyusut. Setelah keinginannya terpenuhi, sang putri menceburkan diri ke laut.

Meski tidak ada sumber tertulis yang jelas, keinginan sang putri agar Sabang menjadi daerah yang subur dan indah setidaknya tecermin dari adanya taman laut yang indah di sekitar Sabang. Kondisi yang demikian kenyataannya juga telah memberi penghidupan kepada masyarakat.

Pulau Weh atau Sabang telah dikenal dunia sejak awal abad ke-15. Sekitar tahun 1900, Sabang adalah sebuah desa nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang baik. Kemudian belanda membangun depot batubara di sana, pelabuhan diperdalam, mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa menampung 25.000 ton batubara telah terbangun.

Kapal Uap, kapal laut yang digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, singgah untuk mengambil batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya, hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding Singapura. Namun, di saat Kapal laut bertenaga diesel digunakan, maka Singapura menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai dilupakan.

Pada tahun 1970, pemerintahan Republik Indonesia merencanakan untuk mengembangkan Sabang di berbagai aspek, termasuk perikanan, industri, perdagangan dan lainnya. Pelabuhan Sabang sendiri akhirnya menjadi pelabuhan bebas dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Indonesia. Tetapi akhirnya ditutup pada tahun 1986 dengan alasan menjadi daerah yang rawan untuk penyelundupan barang.

Awal Januari 2000 Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan Sabang sebagai pelabuhan bebas dan kawasan perdagangan bebas. Barang-barang yang diimpor lewat Sabang bebas pajak. Mobil-mobil mewah asal Singapura dijual murah di kota itu.

Namun, ketika Aceh ditetapkan sebagai daerah operasi militer, aktivitas Sabang sebagai pelabuhan bebas terhenti. Aktivitas pelabuhan bebas makin sepi dengan terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 610/MPP/Kep/ 10/2004 tentang Perubahan atas Keputusan Menperindag Nomor 756/MPP/Kep/12/2003 tentang Impor Barang Modal Bukan Baru. Tak boleh lagi ada barang bekas yang boleh masuk dari seluruh daerah perbatasan Indonesia, termasuk Sabang.

Sumber: http://hijrahheiji.blogspot.co.id/2014/03/sejarah-nama-sabang-dan-legenda-pulau_10.html




VERSI LAIN DARI NAMA SABANG DAN PULAU WEH


Bicara tentang histori, nama Sabang sendiri datang dari bhs Arab, Shabag yang berarti gunung meletus. Kenapa gunung meletus? mungkin saja jaman dulu banyak gunung berapi yang masih tetap aktif di Sabang, hal semacam ini masih tetap dapat diliat di gunung berapi di Jaboi serta Gunung berapi didalam laut Pria Laot.

Sekitaran th. 301 sebelumnya Masehi, seseorang Pakar bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur serta berlabuh di satu pulau tidak populer di mulut selat Malaka, pulah Weh! Lalu dia mengatakan serta mengenalkan pulau itu jadi Pulau Emas di peta beberapa pelaut.

Pada era ke 12, Sinbad membuat pelayaran dari Sohar, Oman, jauh mengarungi lewat rute Maldives, Pulau Kalkit (India), Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, serta Canton (China). Sinbad berlabuh di satu pulau serta menamainya Pulau Emas, pulau itu yang di kenal orang saat ini dengan nama Pulau Weh.

Sedang Pulau Weh datang dari kata dalam bhs Aceh, “Weh” yang berarti geser, menurut histori yang mengedar Pulau Weh pada awalnya adalah satu kesatuan dengan Pulau Sumatra, karna suatu hal hal pada akhirnya Pulau Weh, me-weh-kan diri ke tempatnya yang saat ini. Maka dari itu pulau ini dinamakan Pulau Weh. Berdasarkann histori pembicaraan dari warga di Gampong Pie Ulee Lheueh, Pulau Weh terlebih dulu bersambung dengan Ulee Lheue. Ulee Lheue di Banda Aceh sesungguhnya yaitu Ulee Lheueh (yang lepas). Mengedar berita juga Gunung berapi yang meletus serta mengakibatkan lokasi ini terpisah. Seperti Pulau Jawa serta Sumatera dahulu, yang terpisah karena Krakatau meletus. Pulau Weh populer dengan pulau We tanpa ada H, ada yang berasumsi bila pulau weh dinamakan pulau we karna memiliki bentuk seperti huruf W.

histori Pulau Weh yaitu mulai sejak ada pelabuhan di Kota Sabang. Sekitaran th. 1900, Sabang yaitu satu desa nelayan dengan pelabuhan serta iklim yang baik.

Lalu Belanda membuat depot batubara disana, pelabuhan diperdalam, mendayagunakan dataran, hingga tempat yang dapat menyimpan 25. 000 ton batubara sudah terbangun. Kapal Uap, kapal laut yang digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, berkunjung untuk ambil batubara, air fresh serta beberapa sarana yang ada yang lain, hal semacam ini bisa diliat dengan masih tetap banyak bangunan-bangunan peninggalan Belanda.

Sebelumnya Perang Dunia II, pelabuhan Sabang begitu perlu di banding Singapura. Tetapi, di waktu Kapal laut bertenaga diesel dipakai, jadi Singapura jadi lebih diperlukan, serta Sabang juga mulai dilupakan.

Sumber:https://www.nativeindonesia.com/sejarah-sabang-dan-pulau-weh/




CERITA LAIN RUBIAH DAN PULAU WEH


- RUBIAH

Rubiah Di kepulauan itu, selain Sabang, ada pula Rubiah. Letaknya tepat di depan Iboih, sekitar 20 kilometer sebelah barat Kota Sabang.
Untuk mencapai kawasan tersebut tersedia angkutan umum dari Pelabuhan Balohan.
Sama seperti Sabang, tidak banyak literatur tertulis yang bisa diperoleh mengenai keberadaan pulau ini. Legenda mengenai Rubiah menyatu dengan Sabang.

Pergi ke Iboih akan sangat kurang jika kita tidak mengunjungi Rubiah karena sebagian besar taman laut berada di sekitar kawasan pulau itu. Berjalan ke pulau tersebut kita akan mendapati beberapa bungalow yang pernah dihuni sejumlah pelaku perdamaian Aceh-Pemerintah Indonesia. Sedikit ke bagian tengah pulau, kita akan mendapati bangunan yang mirip dengan pusat kesehatan masyarakat. Selidik punya selidik, bangunan rumah yang baru direnovasi itu ternyata bekas rumah karantina calon haji yang akan berangkat ke Tanah Suci.

Bangunan yang baru direnovasi itu terkesan tidak terawat. Sekelilingnya tumbuh rerumputan setinggi pinggang orang dewasa. Bagian belakang bangunan utama, yang terdiri dari empat kamar mandi, dibiarkan berlumut. Beberapa kelelawar menjadikannya rumah pada siang hari. Tampak sekali bahwa bangunan tersebut tidak pernah dimanfaatkan lagi. Saliza Mohammadar, pemilik Iboih Inn, kaget melihat foto-foto bangunan itu. Meski sudah lebih dari dua tahun tinggal di Iboih, dia mengaku belum pernah melihat bangunan itu. ”Bila dimanfaatkan dengan baik, dijadikan galeri untuk pameran foto zaman dulu, akan sangat bagus. Pengunjung pasti banyak yang tertarik,” ujarnya bersemangat. Pertengahan era 1900-an, Sabang dikenal sebagai embarkasi jemaah haji Sumatera. Beberapa wilayah tetangga ikut memberangkatkan jemaahnya dari Sabang. Tapi, sekarang, bangunan pindah ke Pantai Kasih, Sabang. Rubiah, dan haji hanya tinggal cerita lama.

Sumber: https://travel.kompas.com/read/2010/08/23/15421581/Weh..Sabang..dan.Rubiah


- PULAUWEH


Cerita tentang religi di Pulau Weh, pada abad ke 16/17 ada beberapa kelompok yang hendak menunaikan ibadah ke tanah suci Mekkah, mereka berasal dari berbagai suku dan negara, salah satunya dari negara China, Bangladesh dan Philipina. Mereka semua sudah menetap di kesultanan islam di berbagai daerah di Indonesia, dan berkumpul di daerah Padang.

Setelah sekitar 127 orang berkumpul hendak naik kapal laut ke tanah suci namun musibah datang berupa gelombang laut yang sangat besar, sehingga kapal yang dinaiki menjadi rusak sehingga terdampar di beberapa pantai di Pulau Weh. Keadaan ini membuat mereka bermufakat untuk menyebarkan ajaran islam ke berbagai pelosok sambil menunggu pembuatan kapal baru. Namun musibah kembali menimpa mereka, gempa bumi yang dahsyat kembali merusak kapal mereka, sehingga mereka semua berkumpul untuk bermufakat agar menetap di Sabang.


sumber: http://www.pulauwehaceh.com/2015/03/cerita-dibalik-makam-aulia-44-di-pulau.html


TOKOH DAN PEJUANG


SEJUMLAH sejarawan dan pelaku sejarah Belanda mengakui perang melawan Aceh sejak 1873 adalah perang yang paling menyedot biaya dan stamina.

Perlawanan muncul dari delapan penjuru angin. Dari pergerakan berkelompok, hingga serangan tiba-tiba yang dilakukan orang per orang. Serangan oleh individu ini melahirkan istilah Atjeh Moorden atau Aceh pungo (Aceh gila). Atjeh Moorden secara harfiah bermakna pembunuhan Aceh.

Untuk mengapresiasi perjuangan memperjuangkan kemerdekaan, pemerintah menobatkan mereka yang berjasa sebagai Pahlawan Nasional. Dari total 163 Pahlawan Nasional yang ditetapkan dari 1959 hingga hingga 2014, sebanyak 7 diantaranya berasal dari Aceh.


1. Cut Nyak Dhien (lahir 1850- wafat 1908)


Cut Nyak Dhien adalah istri Teuku Umar. Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak melanjutkan perjuangan melawan pasukan kolonial Belanda di pedalaman Meulaboh, Aceh Barat. Ketika ditangkap Belanda atas laporan seorang pengikutnya, Cut Nyak Dhien sudah renta dan rabun. Untuk memutus pengaruhnya bagi gerilyawan, Belanda mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 6 November 1908, malaikat maut menjemputnya. Jasad Cut Nyak Dhien dimakamkan di Sumedang. Gelar pahlawan nasional disematkan padanya tahun 1964.


2. Cut Nyak Meutia (1870 - 1910)


Cut Nyak Meutia memimpin perlawanan di Aceh Utara. Seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia juga melanjutkan perjuangan suami. Ketika suami pertamanya yang juga pemimpan pasukan gerilyawan, Teungku Chik Tunong meninggal dunia, Cut Meutia melanjutkan perjuangan bersama suami keduanya, Pang Nanggroe.

Ketika Pang Nanggroe gugur pada 26 September 1910, Cut Meutia melanjutkan perjuangan dengan pasukan yang tersisa. Pada 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan pasukan Marsose di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur. Cut Nyak Meutia mendapat gelar pahlawan nasional bersamaan dengan Cut Nyak Dhien pada 1964.


3. Teungku Chik di Tiro (1836-1891)


Teungku Chik di Tiro adalah ulama sekaligus panglima besar Perang Aceh. Nama aslinya Teungku Muhammad Saman.Teungku Chik di Tiro tampil sebagai pemimpin perang ketika perlawanan terhadap Belanda kian meredup pada 1881, delapan tahun setelah Belanda menyatakan maklumat perang terhadap Aceh. Bersama Teungku Chik Pante Kulu, Teungku Chik di Tiro mengobarkan semangat perang sabil, perang di jalan Allah. Dari Lamlo, Pidie, Teungku Chik di Tiro hijrah ke Aceh Besar dan menjadikan Desa Meureu, Indrapuri, sebagai basis gerilyawan. Meureu yang kontur alamnya perpaduan antara dataran rendah dan perbukitan dinilai cocok sebagai benteng pertahanan alami. Pada 1881, pasukan Teungku Chik di Tiro merebut satu per satu benteng Belanda seperti di Lambaro dan Aneuk Galong. Masa perlawanan Teungku Chik di Tiro, Belanda dibuat kalang kabut. Setidaknya, Belanda empat kali mengganti gubernurnya saat menghadapi Teungku Chik di Tiro. Teungku Chik di Tiro meninggal bukan karena peluru Belanda, melainkan lantaran diracun lewat makanan yang disajikan oleh seorang perempuan Aceh pada 1891. Jasadnya dimakamkan di Desa Meureu, Indrapuri, tempat ia menggerakkan perlawanan melawan Belanda.Atas jasa-jasanya, pemerintah memberi gelar pahlawan nasional pada 1973.


4. Teuku Umar (1854-1899)


Teuku Umar adalah salah satu pemimpin pasukan di bawah panglima besar Teungku Chik di Tiro. Umar yang sempat bergabung dengan Belanda, kemudian berbalik arah melawan Belanda. Ada yang bilang Teuku Umar menyusup ke pasukan Belanda sebagai strategi perang. Namun ada juga yang menyebut Teuku Umar berbalik menyerang Belanda setelah diancam istrinya, Cut Nyak Dhien. Pada September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kembali kepada Belanda bersama 13 pengikutnya. Belanda kemudian memberinya gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Netherland. Cut Nyak Dhien dibuat malu oleh keputusannya. Tiga tahun bergabung dengan Belanda untuk kedua kalinya, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda pada 30 Maret 1896 dengan membawa lari senjata dan amunisi. Teuku Umar tertembak dalam pertempuran dinihari 11 Februari 1899. Pemerintah memberinya gelar pahlawan nasional pada 1973 bersamaan dengan Teungku Chik di Tiro.


5. Teuku Nyak Arif (1899-1946)


Teuku Nyak Arief adalah residen/gubernur Aceh pertama periode 1945-1946. Lahir di Ulee Lheue, Banda Aceh, Teuku Nyak Arief adalah keturunan ulee balang Panglima Sagi 26 Mukim wilayah Aceh Besar. Dikenal sebagai orator ulung, ia banyak terlibat di organisasi pergerakan kemerdekaan. Tahun 1919, ia adalah ketua National Indische Partij cabang Kutaraja. Pada 1927, ia salah satu anggota Dewan Rakyat Volksraad sampai dengan tahun 1931.Sejak tahun 1932 T. Nyak Arif memimpin gerakan dibawah tanah menentang penjajahan Belanda di Aceh.
Teuku Nyak Arief juga banyak bergiat di bidang peningkatan pendidikan. Pada 11 Juli 1937, ia mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara. Di Banda Aceh, perguruan ini diketuai oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan, dan Teuku Nyak Arief sebagai sekretaris.

Masih berduet dengan Mr. Teuku Muhammad Hasan, Teuku Nyak Arief juga mempelopori berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.Teuku Nyak Arief termasuk yang tidak setuju ketika ulama PUSA di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh mengadakan hubungan dengan Jepang dan mengundang Jepang untuk mengusir Belanda. Namun, ketika pada Oktober 1945 datang utusan tentara sekutu yang ingin melucuti Jepang, Teuku Nyak Arief yang sudah menjabat residen Aceh juga menolak. Pada Desember 1945, meletus perang Cumbok. Ini adalah pertarungan antara kaum uleebalang dengan kaum ulama, meskipun ada juga uleebalang yang berpihak ke ulama. Tak sedikit kaum uleebalang yang terbunuh. Yang selamat melarikan diri keluar Aceh.

Perpecahan itu membuat Teuku Nyak Arief galau. Ia ingin seluruh kalangan bersatu, bukan bercerai berai. Sikapnya itu dianggap oleh kaum muda PUSA sebagai pengkhianatan.Teuku Nyak Arief pun ditangkap oleh Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) yang mendukung kaum ulama pada Januari 1946. Ia ditawan di Takengon dan meninggal di sana pada 4 Mei 1946. Kepada keluarganya, Teuku Nyak Arief berpesan,Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Lamreueng, Aceh Besar, di pinggir Krueng Lamnyong, Darussalam. Teuku Nyak Arief mendapat gelar pahlawan nasional pada 1974.


6. Sultan Iskandar Muda (1593-1636)


Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang membawa Aceh ke zaman keemasan. Pada masanya, Aceh menguasai Sumatera dan sebagian daerah yang saat ini masuk sebagai wilayah Malaysia seperti Johor dan Kedah. Pada masanya pula Aceh menyerang Portugis di Malaka. Iskandar Muda mendapat gelar pahlawan nasional pada 1993. (Baca juga: Para Perempuan di Sekeliling Sultan dan Raja Aceh di Dunia Internasional)


7. Teuku Muhammad Hasan (1906-1997)


Teuku Muhammad Hasan adalah aktivis kemerdekaan dan gubernur Sumatera pertama. Dikalangan orang pergerakan, ia diberi sebutan Mr atau Mister. Lahir di Sigli pada 4 April 1906, Teuku Muhammad Hasan dikenal sebagai tokoh yang peduli pendidikan. Pada usia 25 tahun, ia bersekolah di Leuden University, Belanda. Di sana, ia bergabung dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Muhammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo.
Perannya yang paling menonjol adalah ketika terpilih sebagai salah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Ir. Soekarno. Tim inilah yang merumuskan dasar-dasar negara Indonesia, termasuk Piagam Jakarta.

Ketika ageresi militer Belanda II berhasil merebut Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Indonesia, Mr Teuku Muhammad Hasan bersama Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang bermarkas di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Dipimpin Syafruddin Prawiranegara, Teuku Muhammad Hasan duduk sebagai Wakil Ketua sekaligus Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama. Teuku Muhammad Hasan dikenal sebagai tokoh peduli pendidikan. Ia mendirikan Uversitas Serambi Mekkah yang masih berdiri hingga saat ini.

Namanya juga tercatat sebagai tokoh yang memelopori nasionalisasi perminyakan dan pertambangan. Pada 1956, Hasan mengetuai tim nasionalisasi sejumlah perusahaan minyak asing menjadi Pertamina pada 1957 dan Pertamin pada 1961. Kedua perusahaan ini lantas digabung menjadi Pertamina pada 1968. Teuku Muhammad Hasan meninggal pada 21 September 1997 dalam usia 91 tahun. Pada 2006, pemerintah memberinya gelar pahlawan nasional.


Sumber: http://wisatasabang.com/artikel/57/mengenal-pahlawan-aceh/

TOKOH MASYARAKAT ACEH


sUMBER: https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_tokoh_Aceh

Beberapa Tokoh Ulama Aceh diantaranya:
  1. Syeikh Abbas Kuta Karang, ulama, intelektual, ahli astrologi
  2. Syeikh Abdullah Al-Asyi
  3. Syeikh Abdur Rauf Singkil, ulama Syattariyah
  4. Syeikh Daud Rumi
  5. Syeikh Hamzah Fansuri, ulama Sufi, sastrawan
  6. Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Al-Asyi, ulama Syattariyah
  7. Syeikh Jalaluddin Tursany
  8. Syeikh Jamaluddin
  9. Syeikh Muhammad bin Ahmad Khatib
  10. Syeikh Muhammad Zein
  11. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry
  12. Syeikh Syamsuddin Sumatrany



BEBERAPA SULTAN DAN SULTANAH ACEH



1. Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh

Adalah pendiri dan sultan pertama Kesultanan Aceh yang bertakhta dari tahun 1514 sampai meninggal tahun 1530. Mulai tahun 1520, ia memulai kampanye militer untuk menguasai bagian utara Sumatera. Kampanye pertamanya adalah Daya, di sebelah barat laut yang menurut Tomé Pires belum mengenal Islam. Selanjutnya pasukan melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas. Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, maka didirikanlah banyak pelabuhan.

Penyerangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukannya. Di Deli meliputi Pedir (Pidie) dan Pasai, pasukannya mampu mengusir garnisun Portugis dari daerah itu. Dalam penyerangan tahun 1824 terhadap Aru, tentaranya dapat dikalahkan oleh armada Portugis. Aksi militer ini ternyata juga mengancam Johor, selain Portugis sebagai kekuatan militer laut di kawasan itu.
Setelah meninggal tahun 1530, ia digantikan oleh Salahuddin yang merupakan putranya sendiri.

2. Sultan Salahuddin ibn Ali Malik az Zahir

Dalam sejarah Kesultanan Aceh, Salahuddin merupakan Sultan Aceh kedua, yang berkuasa dari tahun 1530 sampai 1537 atau 1539. Ia merupakan anak tertua dari Sultan Ali Mughayat Syah, sultan pertama Aceh. Berbeda dengan ayah dan saudaranya, Sultan Alauddin al-Qahhar, yang menggantikannya, ia adalah penguasa yang lemah.

Masih belum jelas kapan ia diturunkan dari kekuasaan. Apakah sebelum atau sesudah penyerangan yang gagal ke Kesultanan Malaka tahun 1537. Hoesein Djajadiningrat yakin bahwa kudeta berjalan dulu dan kemudian penyerangan dilakukan oleh Sultan Alauddin al-Qahhar, sedangkan Lombard menempatkan kudeta, dua tahun setelah penyerangan, yang mana Lombard percaya dipimpin oleh Salahuddin sendiri.

3. Sultan Alauddin ibn Ali Malik az Zahir

Sultan Alauddin al-Qahhar bergelar resmi `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahhar adalah Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537 atau sekitar tahun 1539 menurut Lombard[1] hingga tahun 1568 atau 8 Jumadil awal 979 H / 28 September 1571[1]. ia menggantikan saudaranya Sultan Salahuddin pada tahun 1537 atau 1539 pada kudeta kerajaan kerajaan. Dalam tradisi Aceh, ia juga dikenang sebagai penguasa yang memisahkan masyarakat Aceh ke grup administratif (kaum atau sukeë).

4. Sultan Ali ibn Alauddin Malik az Zahir

Sultan Husain Ali Riayat Syah adalah Sultan Aceh keempat yang memerintah dari tahun 1568 atau 1571 menurut Lombard[1] hingga tahun 1575 atau tanggal 8 Juni 1579 menurut Lombard.[1] Ia merupakan putera dari Sultan Alauddin al-Qahhar.

5. Sultan Malikus Saleh, pendiri Kesultanan Samudra Pasai

6. Sultan Muda

Putera mahkota atau Puteri mahkota adalah calon pewaris tahta pada suatu monarki. Di Eropa, konvensi suksesi garis keturunan biasanya menyatakan bahwa anak tertua (seperti di Swedia, Belgia, Norwegia, Denmark, dan Belanda) atau anak laki-laki tertua (Britania Raya, Spanyol,dll) dari monarki saat ini akan mendapatkan gelar ini. Dalam monarki lain, Arab sebagai contoh, aturan suksesi dapat berbeda dan kedudukan ini dapat diberikan karena jasa-jasa seseorang, atau karena orang tersebut tidak dipandang sebagai ancaman terhadap rezim monarki yang sedang berkuasa.

7. Sultan Sri Alam

Sultan Sri Alam adalah Sultan Aceh ke-6 yang memerintah dari tahun 1575 hingga tahun 1576, menurut Lombard, ia hanya berkuasa pada tahun 1579[1]. Sri Alam merupakan putera dari Sultan Alauddin al-Qahhar, Sultan Aceh ke-3, selain itu ia juga menjabat sebagai Raja Priaman atau Pariaman.

Sultan Sri Alam sebelumnya bernama Sri Alam Firman Syah yang dinikahkan dengan Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura. Hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra dari Sultan Husain Ali Riayat Syah yang bernama Sultan Muda, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Namun kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum disingkirkan dengan dukungan para ulama.

Namun pengaruh Inderapura tak dapat disingkirkan begitu saja. Dari 1586 sampai 1588 saudara Raja Dewi yang bernama Sultan Buyong memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.

8. Sultan Zainal Abidin ibn Abdullah

Sultan Zainal Abidin adalah Sultan Aceh yang memerintah dari tahun 1576 hingga tahun 1577, sedangkan menurut Lombard, ia hanya berkuasa pada tahun 1579. Zainal Abidin merupakan cucu dari Sultan Alauddin al-Qahhar.

9. Sultan Alauddin Mansur Syah ibn Ahmad

Sultan Alauddin Mansur Syah (meninggal 1585 atau 1586) merupakan sultan kedelapan Kesultanan Aceh. Dia memerintah Aceh pada tahun 1579-1585 atau 1586. Dia dikenal sebagai salah seorang penguasa Muslim yang saleh dan sangat tertarik dengan masalah budaya. Selama masa pemerintahannya Kesultanan Aceh melakukan beberapa kali ekspansi militer di Semenanjung Melayu. Kematiannya mengakhiri periode panjang 65 tahun perang antara Kesultanan Aceh dan Portugis.

10. Sultan Ali ibn Munawar Syah

Kerajaan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Walau pada praktiknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.

Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.

11. Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil

Sultan Alauddin Riayat Syah (nama lengkap: Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil; meninggal tahun 1605) adalah sultan Kesultanan Aceh yang ke-10, yang berkuasa antara tahun 1596/1589–1604.[1] Era pemerintahannya menjadi salah satu era penting dalam sejarah di wilayah Asia Tenggara karena pada masa itu untuk pertama kalinya wilayah perairan Selat Malaka kedatangan tiga kekuatan asing dari Eropa: Belanda, Inggris dan Perancis.

12. Sultan Ali Riayat Syah

Sultan Ali Riayat Syah atau disebut pula dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah III (meninggal 4 April 1607) adalah sultan kedelapan belas Kesultanan Aceh. Dia memimpin pemerintahan yang singkat dan penuh pergolakan pada tahun 1604 ketika ayahnya wafat, hingga tahun 1607 ketika Sultan Iskandar Muda datang mengambil takhta.

13. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam

Sultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590 – Banda Aceh, Aceh, 27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, di mana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.[1] Namanya kini diabadikan pada Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh.

14. Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah

Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (meninggal tahun 1641) merupakan Sultan Aceh ketiga belas, menggantikan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah, yang dibawa ke Aceh ketika Aceh menguasai Pahang pada tahun 1617 oleh Sultan Iskandar Muda. Ia menikah dengan puteri Sultan, yang kemudian bernama Ratu Safiatuddin, dan menggantikan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh ketika ia wafat pada tahun 1636. "Tsani" dalam bahasa Arab berarti "dua".

Memerintah sejak kemunduran dari Armada Aceh pada 1629, Iskandar Tsani tidak dapat melanjutkan kesuksesan pemerintah sebelumnya. Ia merupakan penguasa yang kuat, sanggup menekan orang kaya (bangsawan Aceh) dan berusaha untuk mensentralisasikan kekuasaan seperti yang dilakukan oleh Iskandar Muda. Masa pemerintahannya terlalu pendek untuk membuat perubahan besar, bagaimanapun, setelah kematiannya kalangan elit memaksa pengaruh mereka, dan menempatkan jandanya, Ratu Safiatuddin, di kekuasaaan, sebagai yang pertama dari beberapa sultan yang lemah.

Seperti Iskandar Muda, Istana Iskandar Tsani dikenal sebagai pusat dari pendidikan Islam. Ia merupakan pelindung dari Nuruddin ar-Raniri, seorang cendikiawan Islam dari Gujarat yang datang ke Aceh pada tahun 1637.

15. Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam

Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Anak tertua dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan pada tahun 1612[1] dengan nama Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.” Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.[2] Safiatuddin meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.

16. Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam

Sultanah Naqiatuddin Nurul Alam adalah puteri Malik Radiat Syah. Ia memerintah setelah wafatnya Sultanah Safiatuddin, pada tahun 1675. Masa pemerintahannya hanya berlangsung selama 3 tahun sampai tahun 1678.

Hal penting dan fundamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melakukan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam.

Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam nagari-nagari yang terbagi Tiga Sagi itu. Untuk situasi sekarang, sistem pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah.

Ia menghadapi tantangan yang lebih berat dari sultanah sebelumnya. Ia harus menghadapi ancaman dari kolonial Kristen (Belanda, Inggris dan Portugis), sementara konflik intern juga terjadi ketika komunitas Wujudiyah menyebarkan ajarannya. Selain itu, terdapat pula kelompok yang menentang pemerintahannya. Perlawanan terhadap pemerintahannya dilakukan melalui sabotase serta pembakaran Kota Aceh.

17. Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah

Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah menggantikan sultanah sebelumnya yang meninggal yaitu Sultanah Naqiatuddin Syah pada tahun 1678.

Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya ditolak Ratu dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri.

Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama al-Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Ratu meninggal 3 Oktober 1688, lalu ia digantikan oleh Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah.
Menurut riwayat, Zaqiatuddin pernah memintahkan kepada Teungku Syiah Kuala untuk menerjemahkan Hadits Arba'in karya Imam Nawawi.

18. Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah

Paduka Seri Baginda Sultana Zainatuddin Kamalat Syah binti al-Marhum Raja Umar (ada pula yang menyebut Ziatuddin), mewarisi tahta kerajaan setelah kematian Sultanah Zaqiatuddin, pada tahun 1688.

Ada dua versi tentang asal-usulnya. Pertama ia adalah putri dari Raja Umar bin Sutan Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Yang kedua ia adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.

Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja, adalah Panglima Sagi. Ia turun tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, East Indian Company.
Dia menikah dengan Sayid Ibrahim yang kemudian menggantikannya menjadi sultan dari Kesultanan Aceh dengan gelar Sultan Badrul Alam.
Dengan Sultan Badrul Alam, dia memiliki anak: Sayyid Jafar Bhadiq, yang kemudian menjadi Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtawi. Sayyid Ali Zainal Abidin, yang juga kemudian menjadi Sultan Jamalul Alam Badrul Munir.

19. Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin

Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (meninggal 1702?) merupakan seorang sultan yang memerintah Kesultanan Aceh pada periode yang singkat antara tahun 1699 - 1702. Pemerintahannya berlangsung dalam kondisi penuh kegelisahan di Aceh. Dia memerintah sebagai sultan yang tidak berasal dari keturunan sultan sebelumnya (Dinasti Bugis). Demikian singkatnya dan banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh dinasti yang baru dibentuk dia membuat pemerintahannya nyarais tidak membawa perubahan yang berarti bagi kondisi di kesultanan.

20. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui

Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui atau dikenal sebagai Sultan Badrul Alam Syarif Lamtui al-Mutaawi Jamalul Lail (meninggal setelah 1712) adalah seorang sultan yang memerintah di Kesultanan Aceh pada periode yang singkat pada tahun 1702–1703. Perkasa Alam putra seorang Arab yang bernama Jamalul Lail yang diakui sebagai seorang sayyid yang merupakan keturunan Nabi Muhammad. Sejak tahun 1699 Kesultanan Aceh berada di bawah pemerintahan Wangsa Syarif.[1] Dari satu sumber yang agak diragukan kebenarannya dikatakan bahwa Perkasa Alam adalah kemenakan Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah, sultanah Aceh yang memerintah tahun 1688–1699. Perkasa Alam memerintah ketika kakaknya Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin turun tahta tahun 1702 dan meninggal dunia pada tahun yang sama. Setelah melewati masa transisi yang singkat setelah meninggalnya Badrul Alam semua pihak di kesultanan sepakat menobatkan Perkasa Alam menjadi sultan.

Dia bertahta dalam waktu yang singkat. Pada hari-hari pertama pemerintahannya dia memberlakukan pajak baru guna meningkatkan kondisi keuangan negara. Dia membebankan lagi bea pelabuhan bagi kapal-kapal Inggris yang masuk ke pelabuhan Aceh. Para pedagang Inggris yang merasa keberatan dengan pungutan pajak tersebut melawan dan melakukan pengepungan pelabuhan serta menembaki perkampungan di sekitar muara Krueng Aceh. Sementara para orang kaya dan Uleebalang yang tidak puas terhadap kebijakan sultan memungut pajak yang dikenakan bagi lahan pertanian dan tanah mereka memanfaatkan blokade Inggris itu untuk menggulingkan Perkasa Alam dengan melakukan pemberontakan. Kemudian seorang putra pendahulunya, Alauddin yang sejak masa Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin telah dijanjikan sebagai sultan pengganti menduduki tahta pada bulan Juni tahun 1703. Dua bulan setelah masa transisi Alauddin diresmikan sebagai sultan dengan gelar kemudian ia naik tahta dengan gelar Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Perkasa Alam kemudian pindah dan bermukim di desa Peusangan, sebuah wilayah di pantai utara Aceh. Tetapi pada tahun 1712 dia diserang dan diusir oleh 7.000 tentara yang dikirim oleh Jamalul Alam Badrul-Munir. Dia akhirnya tertangkap di Takengon dan nasibnya bertambah buruk setelah ia ditahan oleh penguasa baru.

21.Sultan Jamalul Alam Badrul Munir

Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (meninggal setelah 1736) adalah sultan kedua puluh dua di Kesultanan Aceh. Dia memerintah pada tahun 1703 dan digulingkan pada tahun 1726. Merupakan sultan ketiga dari Wangsa Syarif yang memerintah Aceh sejak tahun 1699.

22.Sultan Jauharul Alam Aminuddin

Sultan Jauharul Alam Aminuddin atau lebih lengkap bergelar Sultan Jauharul Alam Aminuddin Syah (meninggal tahun1726) adalah seorang sultan di Kesultanan Aceh yang memerintah pada tahun 1726. Beberapa sumber menyebutkan tahun pemerintahan dia adalah 1723.

Sebelumnya dia bergelar sebagai Panglima Maharaja, pemimpin di Gampong Pahang sebuah wilayah penting dekat ibukota. Dia sekaligus menjadi penasehat bagi sultan Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Sultan digulingkan dan diusir dari istana ketika pemberontakan tiga sagi pada tahun 1726. Oleh Panglima Maharaja sultan yang bersembunyi di salah satu benteng disarankan untuk mengasingkan diri ke Pidie. Dalam kekacauan politik ini Panglima Maharaja berjanji tidak akan mengkhianati sultan terguling. Namun janji tersebut akhirnya tidak terbukti, karena pada tahun yang sama ditengah kekosongan kepemimpinan dia menahbiskan diri sebagai sultan dengan gelar Sultan Jauharul Alam Aminuddin Syah[2]. Tidak lama setelah memangku gelar sultan, sekira tujuh atau dua puluh hari kemudian dia meninggal. Menjelang kematian dia telah menunjuk Wandi Tebing untuk menggantikan kedudukan dia sebagai sultan. Kelak Wandi Tebing memerintah dengan gelar tahta sebagai Sultan Syamsul Alam.

23.Sultan Syamsul Alam

Sultan Syamsul Alam (meninggal setelah tahun 1727) adalah sultan kedua puluh dua dari Kesultanan Aceh. Ia memerintah 1726-1727 merupakan penguasa terakhir dari dinasti Jamalul Lail.

Nama kecilnya adalah Wandi Tebing, dia adalah keponakan Sultan ke delapan belas Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Ia berkuasa setelah terjadinya pemberontakan tiga sagi terhadap kekuasaan Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Penasehat sultan yang bernama Jauharul Alam sempat menguasai tahta kesultanan untuk waktu yang singkat lalu disingkirkan. Selanjutnya Wandi Tebing dinobatkan sebagai sultan dengan nama Sultan Syamsul Alam. Penobatannya mendapat sokongan dari mukim (kabupaten) Montasik, Lampakuk dan Piyeung. Namun, tidak semua kepala daerah menyetujui hal ini.

Hari-hari terakhirnya sebagai penguasa Aceh adalah ketika wilayah-wilayah sagi dengan suara bulat menyerahkan mandat kepemimpinan kepada Maharaja Lela seorang perwira Bugis yang memimpin benteng di ibukota. Maharaja Lela yang kelak bergelar sebagai Sultan Alauddin Ahmad Syah menyanggupi tawaran tersebut lalu Sultan Syamsul Alam digulingkan pada bulan Januari 1727. Kejatuhannya menandai berakhirnya tiga puluh tahun kekuasaan Wangsa Syarif di kesultanan Aceh yang digantikan oleh penguasa berikutnya yang berasal dari keturunan Bugis.

24.Sultan Alauddin Ahmad Syah

Sultan Alauddin Ahmad Syah (meninggal 1735) adalah sultan ke dua puluh tiga pada Kesultanan Aceh. Dia memerintah 1727-1735 sekaligus menandai berkuasanya Sultan Aceh keturunan Bugis yang bertahan hingga masa berakhirnya kesultanan pada tahun 1903.

Nama asli dia sebelum didaulat menjadi sultan adalah Zainul Abidin. Merupakan keturunan suku bangsa Bugis dari Sulawesi Selatan yang bermigrasi ke Aceh sejak tahun 1667. Ayah dan kakeknya merupakan tokoh Bugis yang sangat dihormati di Aceh[1]. Ketika konflik politik melanda Kesultanan Aceh pada masa Sultan Jamalul Alam Badrul Munir tahun 1703-1726 dia menjabat sebagai perwira di benteng ibukota dengan gelar Maharaja Lela.

Kesetiaan dan keperwiraannya diuji ketika menghadapi pemberontakan tiga sagi di ibukota Banda Aceh, ketika itu dia memerintahkan pasukannya untuk mempertahankan benteng ibukota. Meskipun hal itu tidak mampu menghadapi desakan pemberontak yang berujung pada ambruknya kekuasaan singkat dua orang sultan terakhir Wangsa Syarif Sultan Jauharul Alam Aminuddin (1726) dan Sultan Syamsul Alam (1726-1727). Syamsul Alam pada bulan november 1726 melarikan diri ke Pidie guna mendapatkan bantuan. Awal tahun berikutnya pada 1727 tokoh pemberontakan tiga sagi mendaulat dia menjabat sebagai sultan Aceh yang baru.

25.Sultan Alauddin Johan Syah

Sultan Alauddin Johan Syah (meninggal 1760) adalah sultan kedua puluh empat kesultanan Aceh. Ia merupakan generasi kedua dari Dinasti Bugis yang memerintah Aceh pada tahun 1735-1760.

Awalnya bernama Pocut Uk, dia adalah anak tertua dari Sultan Alauddin Ahmad Syah. Ketika Alauddin Ahmad Syah meninggal pada bulan Mei atau Juni tahun 1735 suksesi berikutnya diperebutkan antara keturunannya dengan dinasti sebelumnya. Pada saat itu penobatan sultan tidak berlangsung secara otomatis dari Sultan sebelumnya kepada generasi selanjutnya. Tetapi pengangkatan sultan haruslah dengan persetujuan uleebalang tiga sagi yang berpengaruh. Ketika kedudukan sultan yang baru sedang dibicarakan oleh istana dengan tokoh-tokoh utama tiga sagi, Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang telah diasingkan sejak tahun 1726 tiba-tiba kembali ke ibukota dan mengklaim tahta sultan kepadanya.

Jamalul Alam Badrul Munir yang merupakan sultan dari trah Sayyid membawa prestise besar disebabkan keturunannya yang dianggap berasal dari Nabi. Namun para tetua lokal, para panglima dan uleebalang dari XXV Mukim, salah satu dari tiga sagi Aceh bersikeras menyatakan Pocut Uk sebagai sultan dengan nama tahta Sultan Alauddin Johan Syah[1]. Jamalul Alam yang berlindung di Masjid Raya Baiturrahman di ibukota tetapi ia ditembak dari arah benteng, merasa tidak mampu bertahan ia dan pengikutnya menarik diri ke Kampung Jawa. Untuk sementara XXII Mukim dan XXV Mukim mendukung Sultan Alauddin Johan Syah, dipihak yang lain XXVI Mukim mendukung Jamalul Alam.

26.Sultan Alauddin Mahmud Syah I

Sultan Alauddin Mahmud Syah I (meninggal 1781) adalah sultan kedua puluh lima Kesultanan Aceh. Memerintah antara tahun 1760-1781, dalam rentang waktu itu pemerintahannya sebanyak dua kali terganggu oleh perampasan kekuasaan yaitu pada tahun 1764 dan tahun 1773.

27.Sultan Badruddin Johan Syah

Sultan Badruddin Johan Syah atau Sultan Badrul Alam Syah (meninggal tahun 1765) adalah sultan kedua puluh enam Kesultanan Aceh Ia adalah salah satu sultan dari dinasti Bugis yang memerintah Aceh tahun 1764-1765.

Ketika Sultan Sultan Alauddin Johan Syah mangkat pada tahun 1760 putra mahkota yang menggantikannya adalah seorang pemuda bernama Pocut Bangta (Alauddin Mahmud Syah). Untuk tugas resmi sultan banyak dilakukan berdasarkan kebijaksanaan dari pejabat menteri bernama Maha Raja Labui dengan gelar Mentri Meukuta Raja. Pada tahun 1763 terjadi kerusuhan politik di kesultanan Aceh, kerusuhan ini terjadi karena kebijakan sultan yang mencoba untuk mengambil alih kendali perdagangan di ibukota dari tangan para bangsawan[1]. Lewat sebuah rangkaian pemberontakan pada bulan Februari tahun 1764 Alauddin Mahmud Syah diusir dari ibukota dan Mentri Meukuta Raja naik tahta dan bergelar Sultan Badruddin Johan Syah. Namun Alauddin Mahmud Syah tidak tinggal diam, dia membangun basis baru di benteng Kuta Musapi dengan bantuan seorang ulama berpengaruh Qadhi Malikul 'Adil. Dari pengasingannya Alauddin Mahmud Syah menyerang istana dan Sultan Badruddin Johan Syah berhasil dibunuh pada bulan Agustus tahun 1765.

Alauddin Mahmud Syah kembali memegang tampuk pemerintahan kesultanan dan melakukan upaya rekonsiliasi politik dengan bekas lawan politiknya. Dalam rangka rekonsiliasi itu Alauddin Mahmud Syah mengawinkan putera mahkota kesultanan dengan puteri Badruddin Johan Syah bernama Pocut Meurah Awan. Perkawinan itu kelak menurunkan seorang putera yang menjadi sultan Aceh yang memakai Sultan Alauddin Jauhar al-Alam.

28.Sultan Sulaiman Syah

Sultan Sulaiman Syah adalah sultan yang kedua puluh tujuh Kesultanan Aceh, ia merupakan satu di antara sultan dari dinasti Bugis. Ia memerintah hanya dalam jangka waktu tiga bulan sejak mei hingga juli tahun 1773.

Pada bulan april tahun 1773 sebuah pemberontakan terhadap sultan dilancarkan oleh gabungan orang-orang dari XXII mukim dan XXV mukim. Pemberontakan itu berhasil menggulingkan pemerintahan Alauddin Mahmud Syah untuk kedua kalinya, sebelumnya sultan juga pernah digulingkan oleh Maha Raja Labui (mentri Meukuta Raja) pada tahun 1764-1765. Dalam penggulinganya kali kedua Alauddin Mahmud Syah melarikan diri ke IV mukim untuk mencari perlindungan. Pada bulan mei setelah sultan diusir maka seorang pejabat kesultanan Raja Udahna Lela diangkat sebagai pengganti dengan gelar Sultan Sulaiman Syah. Dari pengasingannya Alauddin Mahmud Syah sukses mendapatkan simpati dan dukungan dari mukim Daroy dan Lam Ara. Dua bulan mengumpulkan kekuatannya Alauddin Mahmud Syah melancarkan serangan ke ibukota dan mengusir Sulaiman Syah dan pemerintahannya.

Mengenai silsilah Udahna Lela yang disebut-sebut merupakan putra dari Badruddin Johan Syah tidak bisa dipastikan kebenarannya[2]. Jika benar Sulaiman Syah adalah Raja Udahna Lela yang sama dengan putra Badruddin Johan Syah yang juga bernama Raja Udahna Lela, maka Sulaiman Syah ini kelak menjadi tokoh yang memainkan peran sejarah penting di kesultanan Aceh hingga saat ia meninggal dalam keadaan dramatis pada tahun 1805.

29.Alauddin Muhammad Syah

Sultan Alauddin Muhammad Syah (1760 - 1795) adalah sultan ke dua puluh delapan Kesultanan Aceh. Beliau adalah penguasa keempat dari Dinasti Bugis dan memerintah antara tahun 1781 hingga 1795.

30.Sultan Alauddin Jauhar al-Alam

Sultan Alauddin Jauhar al-Alam atau disebut juga Sultan Alauddin Jauharul Alam Syah (1786-1 Desember 1823) adalah sultan kedua puluh sembilan Kesultanan Aceh. Dia memerintah pada tahun 1795-1815 dan kembali lagi pada pada tahun 1819-1823, periode pertama pemerintahan dia takhta kesultanan berhasil direbut oleh Sultan Syarif Saif al-Alam.

31.Sultan Syarif Saif al-Alam

Sultan Syarif Saif al-Alam Syah (meninggal tahun 1828) adalah sultan Kesultanan Aceh. Ia memerintah pada tahun 1815–1819 setelah berhasil menggulingkan takhta sultan sebelumnya Alauddin Jauhar ul-Alam Syah.

32.Sultan Muhammad Syah

Sultan Muhammad Syah atau juga dikenal sebagai Sultan Alauddin Muhammad Da'ud Syah I (1802 - 1838) adalah sultan ketiga puluh satu kesultanan Aceh. Dia adalah penguasa keenam dari dinasti Bugis memimpin kesultanan Aceh, ia memerintah antara tahun 1823-1838.

33.Sultan Sulaiman Ali Iskandar Syah

Sultan Alauddin Sulaiman Ali Iskandar Syah (meninggal 1857) merupakan sultan ketiga puluh dua Kesultanan Aceh. Pemerintahannya (secara de jure) berlangsung antara tahun 1838 - 1857.

34.Sultan Mansur Syah

Sultan Mansur Syah, juga dikenal Alauddin Ibrahim Mansur Syah (meninggal 1870) adalah penguasa ketiga puluh Kesultanan Aceh. Ia merupakan salah satu sultan dari dinasti Bugis.

35.Sultan Mahmud Syah

Sultan Alauddin Mahmud Syah atau disebut juga Sultan Alauddin Mahmud Syah II (meninggal 28 Januari 1874) adalah sultan ketiga puluh empat Kesultanan Aceh. Ia memerintah pada tahun 1870-1874 dan merupakan sultan terakhir yang memerintah Aceh sebelum invasi kolonial.

Ia adalah putra dari Sultan Sultan Sulaiman Syah (meninggal 1857) dari istri biasa. Ketika pamannya Alauddin Ibrahim Mansur Syah meninggal pada tahun 1870 tanpa meninggalkan putra mahkota, maka Alauddin Mahmud Syah diangkat menduduki tahta kesultanan meskipun pada saat itu ia masih dibawah umur. Ia menikah dengan Pocut Meurah Awan sebagai isterinya. Tahta sultan yang masih kanak-kanak itu dijalankan oleh dewan penasehat yang terdiri dari anggota dewan yang utama Habib Abdurrahman Az-Zahir dan Pang Tibang. Kedua orang penasehat ini saling bertentangan satu sama lainnya, dimana Abdurrahman menganggap bahwa sudah saatnya Aceh membuka diri terhadap bangsa luar sementara Tibang bersikeras bahwa Aceh mestilah tetap bersikap independen dan tidak berkompromi dengan kolonial (dalam hal ini Belanda).

36.Sultan Muhammad Daud Syah

Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh terakhir atau Sultan ke-35. Sultan Daud dinobatkan menjadi sultan di Masjid Tua Indrapuri pada tahun 1874 sampai menyerah kepada Belanda pada tanggal 10 Januari 1903. Ia kemudian diasingkan oleh Hindia Belanda ke Ambon dan terakhir dipindah ke Batavia sampai wafatnya pada tanggal 6 Februari 1939. Sultan Daud merupakan cucu dari Sultan Mansur Syah, yang sampai tahun 1884 merupakan Wali dari Tuanku Hasyim, anak dari Sultan sebelumnya yang juga merupakan pamannya yaitu Sultan Mahmud Syah.






    Baca Juga ARTIKEL TERKAIT LAINNYA:
  • MENGENAL RAJA DEMAK SUNAN PRAWOTO (1546-1549)
  • Sejarah Demak Jateng beserta Para Pejuangnya
  • Sejarah Kota Pangkalan Berandan
  • Sejarah Demarkasi Gebang Pangkalan Berandan
  • Awal Mula PT Pertamina EP Pangkalan Susu
  • Sejarah Awal Mula Kota Pangkalan Susu
  • RAJA PERTAMA BATUBARA
  • Tokoh Pahlawan Raja Abdu'l Jalil
  • Sultan Iskandar Muda
  • Sejarah Kabupaten Asahan beserta Tokoh perjuangannya
  • Pemerintahan Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 ) di demak
  • Pahlawan Pati Unus ( 1518 – 1521 ) perjuangan demak
  • pemerintahan Raden Patah ( 1500 – 1518 ) di daerah demak
  • Sejarah Kerajaan Demak dengan peninggalan pra-sejarahnya Mesjid Agung Demak
  • Sejarah Sumatera beserta Tokoh Perjuangannya yang patut untuk di kenali
  • Kepulauan Riau Sejarah singkat dan Para Pahlawan yang berjasa
  • Sejarah BANDUNG singkat beserta Tokoh Pahlawan Perjuangannya.
  • SEJARAH PULAU WEH DAN TOKOH PAHLAWAN ACEH
  • Comments